Saturday, January 21, 2012

FX Market : Capitalism at Work

Kemajuan teknologi yang sangat cepat memberi dampak besar pada operasional market FX. Mulai dari sistem back office hingga ke trading floor semua mengalami perubahan, dan umumnya membuat pekerjaan menjadi lebih cepat, lebih akurat, dan dapat lebih diandalkan. Bank dealer saat ini tidak dapat melakukan manipulasi harga sesering mungkin, karena akses kepada informasi makin terbuka sedikit demi sedikit. Teknologi juga melahirkan generasi baru kompetisi yang lebih terbuka dengan menghadirkan platform-platform trading seperti Reuter, EBS, FXall, Currenex, dll.

Saat ini trader cukup hanya menekan tombol mouse sudah bisa memperoleh price quote. Dengan semua penyedia likuiditas memasukan input harga pada platform yang sama, secara teori perdagangan mata uang ini akan lebih baik. Tetapi jangan keburu senang dulu, karena selalu ada celah bagi dealer melakukan aksinya.

Perkembangan pesat teknologi juga mendorong pertumbuhan turnover FX dari tahun ke tahun. Market FX adalah yang terbesar dan paling likuid ketimbang market lain dengan perputaran uang lebih dari $2 T. Jika hal ini terlihat sangat besar, ya memang market FX itu besar sekali. Bandingkan dengan turnover di NYSE yang hanya sekitar $50 billion per hari atau market surat hutang pemerintah USA sebesar $800 billion, kecil sekali dibanding FX.


International trade bisa menjadi salah satu faktor pendorong pertumbuhan, karena nilai perdagangan global mencapai $40 T per tahun. Transaksi dan hedging perusahaan-perusahaan dagang berkontribusi pada pertumbuhan market FX.

Selain itu adalah hedge fund (selalu jadi kambing hitam) dengan alokasi porfolio sekitar $1 T per tahun. Yang penting bagi kita adalah dengan mengetahui pertumbuhan volume yang tinggi setiap tahun, akan dapat menjelaskan situasi market FX saat ini.

Asset Class

Sepuluh tahun yang lalu, mayoritas Fund atau Asset Manager kurang menaruh perhatian kepada forex karena menganggap forex hanyalah pelengkap penderita dari transakasi pembelian/penjualan asset yang dikelola. Jika sebuah Mutual Fund besar ingin membeli saham -saham Eropa, mereka hanya tinggal menghubungi bank kustodian dan memerintahkan pihak bank untuk mengatur segala keperluannya. Mutual Fund tidak ingin repot dalam transaksi yang berlangsung, semakin sederhana prosesnya semakin baik, karena kompentensinya adalah terletak pada pemilihan saham sebagai sarana investasi. Hal ini berlangsung sedari dulu dan sangat logis dilakukan pada saat ekonomi berjalan normal. Namun semuanya berubah saat ekonomi mengalami masa ketidak pastian dan yield (imbal hasil) yang rendah membuat Mutual Fund mulai menghitung ulang tiap dana yang diinvestasikan.

Sejak bursa saham crash dan terutama sejak peristiwa 9/11, pekerjaan Asset Manager bertambah berat dan mereka mulai melirik forex dengan pandangan bersahabat. Mereka mulai menyadari bahwa mengalokasikan dana pada forex adalah bagian dari diversifikasi portfolio, dan sejak itulah forex menjadi bagian integral asset class yang harus dioptimalkan yield-nya untuk menghasilkan alpha (return yang tinggi)

Perubahan persepsi ini terbukti mengubah medan tempur FX secara radikal, dan akhirnya menjadi kekuatan utama yang menggerakan market FX saat ini. Makin banyak Fund yang kini terlibat aktif dalam mengelola portfolio FX, baik dilakukan sendiri atau menggunakan jasa Currency Overlay Manager (COM). Perubahan cara pandang dan pencarian yield yang tinggi pada akhirnya membangkitkan kembali apa yag disebut sebagaicarry trade yang berarti meminjam instrumen dengan yield rendah kemudian di investasikan pada instrumen dengan yield tinggi. Contohnya meminjam USD untuk dibelikan pound sterling /saham / gold dll. Inilah yang menyebabkan suatu strong trend berlangsung dalam waktu yang cukup lama, salah satu alasannya adalah pemerintah dalam hal ini bank sentral tidak serta merta mengubah-ubah suku bunganya dalam periode waktu yang singkat.


0 komentar:

Post a Comment

Silahkan isi komentar dengan sopan dan tidak mengandung unsur kekerasan kata dan pornografi.Terimakasih.

YoeRieTrading